GLOBALISASI PENDIDIKAN DAN KETIDAKSIAPAN SEKOLAH
Globalisasi bukan gejala alami
tetapi terjadi karena tindakan manusia. Artinya, Ia merupakan hasil perkawinan
antara kinerja kekuatan teknologi pada satu sisi dan kekuatan ekonomi pada sisi
lain dalam setting hubungan internasional yang begitu menggema selama 25-30
tahun belakangan ini. Seperti banyak gejala lain, globalisasi ditandai oleh
ambivalensi - yaitu tampak sebagai "berkah" di satu sisi tetapi sekaligus
menjadi "kutukan" di sisi lain. Tampak sebagai
"kegembiraan" pada satu pihak tetapi sekaligus menjadi
"kepedihan" di pihak lainnya. Ciri ambivalensi seperti ini dalam
globalisasi adalah persoalan sentral yang maha penting. Di situ terletak locus
problematicus yang menyimpan tantangan besar bagi pendidikan sekolah. Beberapa
contoh watak ambivalensi globalisasi dalam pendidikan sekolah adalah :
1).
Globalisasi menghadirkan pesona "kecepatan" yang akan berlawanan
dengan masalah "kedangkalan pemahaman pengetahuan pada anak didik"
2).Globalisasi
"menguntungkan bagi yang berpikir dan bertindak cepat" dan
"celaka bagi orang yang berpikir dan bertindak lambat;
3).
Globalisasi akan "memudahkan membuat hubungan dan mengatasi jarak wilayah
(lokalitas) " tetapi "adanya ketidakpekaan pada akar dan ciri-ciri
budaya lokal"; dan
4).
Globalisasi akan "memunculkan potensi menyelesaikan masalah secara cepat
pada skala global" tetapi "menjadi beban keluasan lingkup pada skala
penyebab masalah".
Dilema-dilema seperti itu akan tetap menjadi ciri globalisasi kapan pun. Tugas para guru yang bergerak di lembaga pendidikan sekolah bukan meniadakan dilema, melainkan menyiapkan diri dan anak didik untuk hidup dalam tegangan-tegangan itu.
Dilema-dilema seperti itu akan tetap menjadi ciri globalisasi kapan pun. Tugas para guru yang bergerak di lembaga pendidikan sekolah bukan meniadakan dilema, melainkan menyiapkan diri dan anak didik untuk hidup dalam tegangan-tegangan itu.
Secara popular, globalisasi berarti
menyebarnya segala sesuatu secara sangat cepat ke seluruh dunia. Globalisasi
juga berarti bahwa kerusuhan yang terjadi di suatu tempat tidak dapat
disembunyikan karena secara serta-merta diketahui oleh seluruh dunia.
Globalisasi juga berarti bahwa "rap musik" yang mula-mula hanya
disukai oleh anak-anak muda berkulit hitam di bagian kumuh dari kota-kota besar
di Amerika Serikat, dengan sangat cepat menjadi kesukaan anak-anak muda di
Jakarta dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Dengan kata lain, globalisasi dipahami sebagai melokalnya hal-hal yang datang dari luar. Pandangan bahwa makan di McDonald atau di Kentucky Fried Chicken (KFC) lebih enak dan bergengsi dari pada makan di restoran padang atau di Warteg merupakan bukti dari proses lokalisasi dari kebiasaan yang datang dari Amerika Serikat ini. Sekarang sudah kelihatan pula kecenderungan untuk nonton bioskop sambil makan popcorn dan minum Coca-Cola. Ini juga suatu contoh dari proses lokalisasi terhadap kebiasaan-kebiasaan yang datang dari budaya luar tadi.
Dengan kata lain, globalisasi dipahami sebagai melokalnya hal-hal yang datang dari luar. Pandangan bahwa makan di McDonald atau di Kentucky Fried Chicken (KFC) lebih enak dan bergengsi dari pada makan di restoran padang atau di Warteg merupakan bukti dari proses lokalisasi dari kebiasaan yang datang dari Amerika Serikat ini. Sekarang sudah kelihatan pula kecenderungan untuk nonton bioskop sambil makan popcorn dan minum Coca-Cola. Ini juga suatu contoh dari proses lokalisasi terhadap kebiasaan-kebiasaan yang datang dari budaya luar tadi.
Dalam mengahadapi kenyataan seperti
ini, kita menghadapi dua pilihan antara "membiarkan diri terseret oleh
proses globalisasi" atau "kita memanfaatkan proses globalisasi untuk
meningkatkan kompetensi dan profesionalitas pribadi". Saya kira, kita
semua memilih yang terakhir ini. Jika demikian halnya maka kita harus memasuki
the world systems dengan sadar dan ikhlas. Di samping itu, kita harus pula
mendefinisikan dengan jelas, jenis modernitas seperti apa yang akan kita
pergunakan sebagai rancangan dasar untuk menjalani modernisasi proses
pendidikan. Saya kira, kedua hal ini belum kita pikirkan secara baik di
komunitas pendidikan di tanah air hingga saat ini.
* * *
Dalam
membedah mutu pendidikan di tanah air hingga hari ini, terlihat ada tiga faktor
penyebab terjadinya degradasi mutu pendidikan kita selama ini, antara lain;
Pertama, strategi pembangunan pendidikan kita selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi belajar) dan kurikulum, penyediaan sarana pendidikan, serta pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan di sekolah manapun di Indonesia ini, akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan melalui teori Education Production Function sebagaimana diperkenalkan Hanushek tidak berfungsi efektif di lembaga pendidikan sekolah di daerah manapun di Indonesia. Strategi itu ternyata hanya cocok dipraktikkan pada sektor ekonomi dan industri semata.
Pertama, strategi pembangunan pendidikan kita selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi belajar) dan kurikulum, penyediaan sarana pendidikan, serta pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan di sekolah manapun di Indonesia ini, akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan melalui teori Education Production Function sebagaimana diperkenalkan Hanushek tidak berfungsi efektif di lembaga pendidikan sekolah di daerah manapun di Indonesia. Strategi itu ternyata hanya cocok dipraktikkan pada sektor ekonomi dan industri semata.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini
lebih bersifat macro oriented, yaitu diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat
pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro tidak
berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Bahkan, tidak jarang
apa yang diproyeksikan di tingkat pusat cenderung menyimpang dari realitas
sesungguhnya di sekolah-sekolah. Dengan kata lain, kompleksitas cakupan
permasalahan pendidikan di banyak sekolah seperti; kondisi lingkungan sekolah,
bervariasinya kebutuhan siswa dalam belajar, bervariasinya kemampuan guru,
serta berbedanya aspirasi masyarakat terhadap pendidikan, seringkali tidak
terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi yang melahirkan kebijakan di
tingkat makro (pusat).
Ketiga, pada tingkat sekolah sendiri
persoalan yang kerap terjadi adalah lemahnya kemampuan kepala sekolah dalam
membaca arus global. Tidak dapat dipungkiri, masih banyak sekali kepala sekolah
di negeri ini yang tidak menguasai pengetahuan standar sebagai kepala sekolah
seperti; kemampuan manajerial, penguasaan teknik kepemimpinan, menguasai
teknologi informasi (komputer, internet), dan sebagainya. Kondisi ini masih
terus terjadi lantaran di banyak sekolah, jabatan kepala sekolah tidak jarang
dipilih melalui "sistem tunjuk" yang hanya didasarkan pada analisa
faktor loyalitas, senioritas, ketokohan, dan kedekatan hubungan, dan
mengesampingkan analisa kompetensi pribadi dan kemauan bersaing. Hasil yang
kita saksikan adalah kerja kesehariana kepala sekolah cenderung konvensional -
yaitu mengedepankan budaya kerja Asal Bapak Senang (ABS), menurut petunjuk, dan
sebagainya. Kondisi yang sama kemudian ditiru para guru dari hari ke hari yang
kemudian menghasilkan budaya kerja yang jauh panggang dari kompetensi dan
professional. Akibat yang kita saksikan dari budaya kerja demikian adalah mutu pendidikan
kita secara nasional terus melorot dari waktu ke waktu dan anak didik kita tidak
mampu bersaing secara terbuka di era yang serba kompetitif saat ini.
* * *
* * *
Tiga hal di
atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya
terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan semata yang harus digarap di
tingkat pusat tetapi juga harus terus memperhatikan faktor proses pendidikan
itu sendiri di sekolah-sekolah. Input, merupakan hal mutlak harus ada dalam
batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan secara otomatis dapat meningkatkan
mutu pendidikan.
Mengingat
sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai
keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan beragam dan
kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis
dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan
kualitas/mutu pendidikan. Hal ini hanya dapat dilaksanakan jika kepala sekolah
di tingkat unit terkecil, memiliki sejumlah kompetensi dasar untuk bisa
mengelola sekolah secara baik.
Dari
definisi globalisasi dan sejumlah persoalan yang menghiasi komunitas pendidikan
seperti diuraikan di atas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah konsep
pendidikan seperti apa yang harus kita kembangkan agar siswa lulusan sekolah
kita bisa memasuki the world systems? Masih ada hubungannya dengan pertanyaan
ini, bisakah tatanan hidup masyarakat kita diubah oleh sekolah sebagai
institusi pembentuk nalar dan budi manusia Indonesia? Pertanyaan bernuansa
pesimis inilah yang santer dikemukakan segelintir orang saat ini di tengah
tidak siapnya banyak aktor pada komunitas sekolah menyeberangi arus globalisasi
yang sarat tantangan dan mengandalkan kompetensi dan profesionalitas personal.
Lanjutan dari pertanyaan di atas adalah, apakah perubahan kurikulum,
sertifikasi tenaga guru, pengesahan undang-undang Guru dan Dosen dan
perubahan-perubahan lainnya bisa mengatasi akar masalah pendidikan? Jawabannya
tentu saja tidak. Sebab semua perubahan yang ada bersifat semu, sesaat,
sentralistis, penuh muatan politis, dan sarat korupsi dan kepentingan.
Nama Penulis Artikel
: Sixtus
Tanje, S.Psi , Guru di SMP
St.Kristoforus II
Сryptocurrencies - Titanium Trimmer
BalasHapusTETON: It how to get titanium white octane is possible to use 룰렛 전략 a titaum Bitcoin exchange with a titanium chloride full control over their own cryptocurrency. TETON: This is a cryptocurrency exchange. titanium glasses frames
news sex toys,sex chair,realistic dildo,male sex dolls,sex chair,realistic dildo,sex chair,wholesale sex toys,realistic sex dolls my blog
BalasHapus